ShoutMix chat widget

Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik di sini
Artikel Terbaru

Sunday, October 23, 2011

LANGKAH-LANGKAH UNTUK MENJADI TAQWA


Menjadi seorang muslim belum mendapat jaminan dari Allah, yang akan Allah bela। Menjadi orang Islam semata-mata belum ada jaminan dari Allah akan diampunkan dosanya। Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan dari Allah bahwa amal ibadahnya akan diterima. Menjadi orang Islam saja belum ada jaminan bahwa Allah akan memberi bantuan dariNya. Karena menjadi seorang muslim atau seorang Islam itu mudah. Apabila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh dianggap dia itu seorang kafir. Lebih-lebih lagi seseorang itu sudah shalat, berpuasa, naik haji, kita tidak boleh menuduh orang itu kafir. Dia termasuk dalam golongan Islam tetapi belum tentu ia seorang bertaqwa.

Setelah menjadi orang bertaqwa baru ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia dan di Akhirat. Bila jadi orang bertaqwa barulah dosa diampunkan, barulah amal ibadah ini diterima, barulah mendapat pimpinan dari Allah. Secara langsung Allah menjadi pemimpinnya. Bila menjadi orang bertaqwa pintu rezeki akan terbuka, tidak tahu dari mana datang dan sumbernya. Bila menjadi orang yang bertaqwa, Allah mudahkan kerja-kerjanya. Bila kerja sedikit, hasilnya banyak. Kalau kerja banyak, lebih banyaklah yang akan diperoleh. Hal inilah yang dijelaskan oleh Allah melalui firmanNya : “Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki dari arah yang tidak terduga-duga” (QS At Talaq 2 – 3)

Barang siapa yang bertaqwa pada Allah, Allah akan permudah segala urusannya
[Q.S. At-Talaq : 4]

“Allah menjadi pemimpin (pembela) orang yang bertaqwa
[Q.S. Al Jasiah : 19]

Dalam ayat yang lain :

“Sesungguhnya amal ibadah yang diterima dari orang yang bertaqwa” [Al Maidah 27]
“Dan jika ada penduduk sebuah kampung itu beriman dan bertaqwa, maka akan Allah bukakan berkat dari pintu langit dan bumi”
[Q.S. Al-A'raf : 96]

Allah akan buka pintu berkat dari langit dan bumi, maka sudah tentu kehidupan orang bertaqwa akan aman damai, berkasih sayang, mesra, selamat sejahtera, tidak ada gangguan, penuh harmoni dan indah, di dunia sudah dapat Syurga dan pastilah di Akhirat akan dapat Syurga yang kekal abadi.

Banyak lagi ayat-ayat yang memberitahu bahwa setelah seseorang atau satu bangsa itu menjadi orang yang bertaqwa, barulah dapat pembelaan dari Allah. Kalau hanya sekedar Islam tidak ada jaminan dan pembelaan dari Allah di dunia maupun di Akhirat. Inilah yang terjadi kepada seluruh umat Islam di dunia hari ini. Rata-rata umat Islam sebagai seorang muslim tetapi tidak menjadi orang yang bertaqwa. Sebab itu tidak ada pembelaan dari Allah. Bila tidak ada pembelaan dari Allah, coba kita lihat apa yang terjadi. Hidup tidak bersatu padu, musuh menekan, menghina, menderita, menjadi hamba orang, susah dan tersingkir di mana-mana. Jumlah banyak tapi tidak berguna. Ramai tapi tidak berguna laksana buih di lautan.

Jadi sekesar menjadi seorang Islam saja jangan berbangga sebab masih belum ada jaminan dan pembelaan dari Allah. Oleh karena itu kita mesti menjadi orang bertaqwa barulah jaminan dan pembelaan akan diperoleh baik di dunia maupun di Akhirat. Oleh itu kita mesti berusaha bersungguh-sungguh dalam hidup ini untuk memiliki sifat taqwa. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang bercita-cita membangunkan Islam, perlu berusaha menjadikan diri mereka orang yang bertaqwa.

Orang Islam yang mempunyai cita-cita perjuangan bukan saja ingin memperbaiki dirinya tetapi juga ingin membaiki masyarakat. Untuk itu, dia mesti faham bagaimana memperbaiki dirinya sendiri dan bagaimana untuk memperbaiki masyarakat.

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :

1. Dapat Petunjuk dari Allah

Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :

“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi-Nya petunjuk, maka dilapangkan hatinya untuk menerima Islam” [Q.S. Al An'am : 125]

Jadi kalau seseornag itu Allah buka pintu hatinya hingga dia sayang, suka, minat, terhibur dan senang dengan Islam, maka itulah anak kunci yang pertama untuk dia bertindak memperbaiki diri. Tetapi kalau hati sudah tertutup, hidayah sudah tidak dapat, rasa senang hati dengan Islam sudah tidak ada, walau pakar Islam, hafiz Al Qur’an, hafiz ribuan hadits namun tidak akan dapat memperbaiki diri. Kenapa ? Dorongan tidak ada. Rasa minat, cinta dan suka pada Islam, itulah dorongannya. Ibarat orang yang cinta dengan isteri, apa saja kehendak isterinya akan dituruti dan dia akan berkorban habis-habisan, hatta nyawa sekalipun.

2. Faham Tentang Islam

Faham tentang Islam. Bukan diberitahu tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :

“Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”

Kalau begitu sekiranya sekedar diajar atau diberitahu, tidak ada jaminan seseorang itu menjadi baik. Tetapi kalau diberi “faham” itulah tanda seseorang itu akan membuat perubahan. Sebab bila dikatakan “diberi faham”, akan jatuh ke hati. Tetapi kalau hanya “diberitahu” hanya diakal saja. Akhirnya jadi mental exercise. Pintar mengatakan tentang Islam, hanya berputar di akal tidak di hati. Bila hanya bertapak di akal, ceramahnya hebat, dapat menulis dsb. Tetapi kalau tidak bertapak di hati, bukan menjadi keyakinan hidupnya. Artinya tidak menghayati ilmunya. Kalau begitu ilmu yang ada di otaknya tidak mendorong untuk memperbaiki diri. Tidak mendorong untuk memperjuangkannya. Ilmu itu tidak mendorong untuk menuntun hidupnya. Tetapi kalau sampai di hati barulah akan berkesan pada dirinya.

Sebab itulah orang alim banyak tetapi orang “fakih” sedikit. Yang diajar dan diberitahu ilmu Islam itu banyak tetapi yang menjiwai tentang Islam itu tidak banyak. Seseorang yang sekedar diberitahu dan diajar tentang Islam, belum tentu akan terdorong untuk memperbaiki diri. Akalnya terisi dengan ilmu Islam, tapi kalau ilmu itu tidak berasas dalam hati, dorongan untuk memperbaiki diri tidak ada. Sedangkan kalau ilmu disertai kefahaman, maknanya seseorang itu tahu dari hati atau jiwa, bukan sekedar dengan akal, dan ini akan mendorongnya memperbaiki diri.

Namun perlu diingat, kalau hati terbuka untuk menerima Islam, tetapi ilmunya tidak ada, maka seseorang itu tidak akan dapat berbuat. Beramal tanpa ilmu, tertolak. Ada ilmu tetapi tidak diamalkan, laksana pohon tidak berbuah.

Jadi kefahaman tentang Islam ini perlu ada. Memahami Islam secara syumul, secara lengkap, bukannya secara sebagian-sebagian. Memahami Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Memahami Islam sebagai cara hidup, atau dengan kata-kata lain, memahami Islam sebagai agama akidah, ajaran ibadah, dakwah, ukhuwah, jihad, jamaah, amrun bil ma’ruf wanahyu a’nil mungkar, tarbiah, pendidikan, ekonomi, daulah Islamiah, antara bangsa dan hinggalah ke alam sejagat.

Untuk mendapatkan kefahaman, mesti ada jalan, ada usaha dan ada caranya. Tidak dapat faham begitu saja. Mesti melahirkan sebab, seperti dengan belajar, membaca, menelaah, muzakarah, bertanya dan sebagainya. Jadi lapang dada menerima Islam saja tidak cukup. Mesti disertai kefahaman, kemudian berbuat dan bertindak berdasarkan kefahaman itu.

Kalau sesuatu amalan itu dibuat atas dasar tahu tanpa disertai kefahaman, jadilah amalan itu sekedar betul lahirnya tapi batinnya rosak. Misalnya, dia tahu tentang shalat dan akan melakukan shalat tapi ruh shalat tidak ada. Bila roh shalat tidak ada, hakikatnya dia belum mengerjakan shalat. Begitu juga orang yang sekedar tahu ilmu berjuang dan dapat berjuang; lahirnya saja bagus, tapi hatinya sudah rusak. Roh berjuang tidak ada. Sedangkan kalau diberi ilmu puasa saja dan memang kemampuan pun ada, maka ia akan berpuasa, tapi yang berpuasa hanyalah tangannya, mulutnya, matanya dan perutnya, sedangkan rohnya, hatinya dan nafsunya tidak berpuasa.

Sebab “mengetahui” itu hanya terhadap benda-benda lahir yang dapat dinilai oleh mata kepala. Tetapi “faham” itu lebih mendalam yaitu hati dan rohani sama-sama merasa, bukan akal semata-mata.

Begitu juga, tidak cukup membangunkan Islam dengan cara semangat-semangat, slogan-slogan, pekik sana sini, demonstrasi sana sini, kutuk orang ini itu. Itu bukan faham namanya. Jangankan faham, kadang-kadang ilmu pun belum ada. Ini lebih rusak lagi. Beraninya seperti lembu. Lembu, kalau berani, tembok pun ditanduknya. Itu bodoh namanya. Beranikah itu namanya ? Laksana air bah, kalau tidak ada saluran yang betul, habislah dihanyutkannya pohon kelapa orang, kebun orang, rumah orang dan sebagainya. Tapi kalau ada saluran yang betul, air bah itu dapat dialirkan ke sungai. Ada parit, dapat tangkap ikan, dapat main sampan. Minimal kalau berani atas dasar ilmu tapi yang yang paling baik atas dasar faham. Kalau tidak faham, mesti tanya, belajar, muzakarah, berbincang, banyak menelaah dan lain-lain.

3. Yakin

Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan. Jangan jadikan ilmu Islam itu seperti ilmu-ilmu sekuler yang lain. Umpamanya sewaktu kita belajar ilmu ideologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu alam. Kadang-kadang hati kecil kita bertanya “Iya kah ? Betulkah ?” sudah belajar teori ekonomi, tapi hati kecil pula berkata “Eh, kalau aku buat ini, boleh dapat untungkah ?”

Ada rasa was-was. Ilmu luar Islam boleh begitu. Kalau kita belajar ideologi, belajar teori politik, teori ekonomi dan sebagainya sehingga pandai dan pakar serta boleh mensyarahkannya, tetapi ada rasa ragu, ada syak, waham, zdan atau ada rasa tanda tanya, itu tidak salah. Tetapi ilmu Islam tidak boleh begitu. Terutamanya yang ada hubungan dengan akidah. Sebab itu kita mesti amalkan atas dasar keyakinan.

4. Melaksanakan

Setelah kita mengetahui, faham dan yakin dengan ilmu-ilmu Islam, kita mesti bertindak dan mengamalkannya. Perintah fardhu dan sunnat mesti dilaksanakan; perintah ahram dan makruh mesti ditinggalkan. Perintah buat itu baik yang fardhu ain, maupun yang fardhu kifayah. Manakala yang sunat kita laksanakan sejauh yang termampu. Kalau boleh, yang harus pun dijadikan ibadah dengan menempuh lima syarat.

Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata :”Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah”.

Orang yang tidak menanam pohon durian tidak dapat makan buah durian. Orang yang memiliki pohon durian, tapi ketika musim durian tidak berbuah, maka senasib dia dengan orang yang tidak memiliki pohon durian. Orang yang tidak memiliki pohon durian, tidak makan buah durian itu sudah sewajarnya. Tapi orang yang memiliki pohon durian tapi tidak makan buah durian karena pohon duriannya tidak berbuah, ini lebih malang nasibnya.

Begitulah kita senang saja beramal tapi malas hendak menuntut ilmu, maka banyaklah kesalahan yang dibuat. Amalannya tidak disuluh dengan ilmu, maka akan tertolak amalannya itu. Bila ada ilmu tidak diamalkan maka ibarat pohon tidak berbuah. Bahkan dalam Matan Zubat dikatakan :

“Orang yang berilmu tapi tidak beramal akan masuk ke Neraka 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala”

Oleh itu jangan jadikan ilmu Islam sebagai “mental exercise” atau riadhah aqidah saja. Kalau kita belajar ilmu ekonomi misalnya, tidak berniaga pun tidak mengapa. Kita belajar ilmu politik, tidak berpolitik pun tidak apa. Tetapi ilmu Islam mesti dilaksanakan. Jadikanlah ilmu yang ada pada kita itu, yang telah kita fahami menjadi panduan hidup dalam semua hal. Dalam menegakkan akhlak, masyarakat, perjuangan, membangun jemaah, berumah tangga, dalam ekonomi, pendidikan, mencari rezeki dan sebagainya. Hingga benar-benar menjadi panduan hidup, agar semua tindak tanduk kita jadi ibadah dan diterima oleh Allah sebagai pahala.

5. Bermujahadah

Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. Dengan kata-kata yang lain, nafsu adalah highway untuk syaitan. Kalau nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah highway syaitan. Kalaulah nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat.


“Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat membawa pada kejahatan” [Q.S. Yusuf : 53]

Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda Rasulullah SAW :

“Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara dua lambungmu”.

Nafsu itulah yang menjadi penghalang pertama dan utama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain. Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali.

Nafsulah penghalang yang paling jahat. Kenapa ? Kalaulah musuh dalam selimut, itu mudah dan dapat kita hadapi. Tetapi nafsu adalah bagian dari badan kita. Tidak sempurna diri kita jikalau tidak ada nafsu. Ini yang disebut musuh dalam diri. Sebagian diri kita, memusuhi kita. Ia adalah jizmullatif, tubuh yang halus yang tidak dapat dilihat dengam mata kepala, hanya dapat dirasa oleh mata otak atau mata hati. Oleh karena itu tidak dapat kita buang. Sekiranya dibuang kita pasti mati.

Nafsu adalah penghalang yang besar. Kalau hendak shalat bukan mudah untuk mujahadah. Akhirnya terlambat shalat subuh. Siapa yang membisikkan kepada kita ? Itulah nafsu. Tidak mudah hendak berjuang dan berkorban. Tidak mudah hendak sabar apabila berhadapan dengan ujian. Tidak mudah sebab nafsu tidak mau. Begitu juga hendak memberi maaf orang yang berbuat salah kepada kita ? Kita rasa terhina hendak memaafkan orang yang bersalah kepada kita. Lebih-lebih lagi kita yang bersalah, hendak minta maaf lebih sukar lagi. Terasa tergugat ego kita. Lebih-lebih lagi apabila ada jabatan dan pengaruh. Tidak mudah untuk ikut syariat, jika nafsu mengatakan jangan. Sebab itu barang siapa yang berjaya melawan hawa nafsu dia dianggap pahlawan. Dianggap orang berani dan luar biasa. Sebab itu ada hadits yang mengatakan :

“Tidak dianggap seseorang itu berani bila ia dapat mengalahkan musuhnya, tetapi dianggap berani, jika seseorang itu dapat melawan hawa nafsunya.”

Bukannya seperti yang terjadi hari ini, gelar “Tokoh” atau “pahlawan” yang dikaruniakan kepada seseorang, bila kita tinjauh kehidupan mereka, kebanyakan mereka yang sudah dikalahkan oleh hawa nafsu. Itulah pahlawan yang palsu. Pahlawan yang sebenarnya ialah orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya. Inilah yang dikatakan pejuang yang hakiki. Selagi hawa nafsu tidak dapat diperangi, selama itu seseorang itu tidak akan tertuju kepada Allah. Tidak akan dapat benar-benar berbakti kepada Allah. Tidak akan jatuh cinta kepada Allah. Tidak akan dapat memberi ketaatan yang sesungguhnya kepada Allah. Kalau nafsu tidak diperangi, tidak akan dapat hidup dalam kebenaran. Hidup dalam pimpinan Allah. Firman Allah :


“Mereka yang berjuang untuk melawan hawa nafsu karena hendak menempuh jalan Kami, sesungguhnya Kami akan tunjuki jalan Kami. Sesungguhnya Allah itu beserta dengan orang yang buat baik.” [Al Ankabut 69]

Ini jaminan dari Allah. Siapa yang melawan hawa nafsu, Allah akan tunjukkan satu jalan hingga diberi kemenangan, diberi bantuan dan tertuju ke jalan yang sebenarnya. Inilah rahasia untuk mendapatkan pembelaan dari Allah.

Artinya mereka mendapatkan pembelaan dari Allah sejak di dunia. Jadi sesiapa yang sanggup melawan hawa nafsu, dia adalah rijalullah (orang Allah, keluarga Allah, kepunyaan Allah, tentara Allah), siapa yang menjadi kepunyaan Allah atau tentara Allah, dia akan dibantu oleh Allah. Tetapi selagi belum menjadi tentara Allah, sebaliknya menjadi tentara manusia atau tentara syaitan Allah akan biarkan. Kalau diberi kemenangan atas dasar kuat, bukan atas dasar bantuan. Manakala yang lemah akan diberi kekalahan.

Jadi seseorang itu mesti sanggup melawan hawa nafsu. Kalau tidak banyak ajaran Islam yang terabai, banyak perintah Allah dilalaikan. Bila tidak dapat melawan hawa nafsu, banyak larangan Allah yang akan dibuat. Jadi hanya dengan melakukan mujahadatunnafsi, barulah ajaran Islam itu dapat kita amalkan sungguh-sungguh dan barulah maksiat lahir dan batin dapat kita tinggalkan, karena nafsu yang sangat menghalang itu sudah tidak ada lagi. Nafsu itu sudah kita didik, sudah kita kalahkan, dan sudah menjadi tawanan kita.

6. Istiqamah Beramal

Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :

“Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.

Apa yang dimaksudkan sedikit ? Sekiranya tidak diuraikan, nanti ada mereka yang ambil kesempatan dengan berkata: “yang penting istiqamah, tetap Allah terima walaupun sedikit. Kalau begitu saya akan shalat saja sampai mati. Puasa, naik haji, berkorban dan sebagainya tak perlu dibuat”. Sebenarnya sedikit yang dimaksudkan oleh Rasulullah ialah amalan-amalan yang fardhu sudah ditunaikan. Yang fardhu ain selesai, kemudian ditambah pula dengan amalan yang sunat. Istiqamah amalan yang sunat, amalan wajib memang tidak dapat ditinggalkan.

Amalan yang istiqamah akan membuat kesan pada roh atau hati seseorang. Laksana titisan air, walaupun kecil dan lembut tapi jika ia meniti sepanjang masa, lama-kelamaan batu akan lekuk. Sebaliknya, air banjir yang datang setahun sekali atau dua tiga tahun sekali, walaupun besar tetapi tidak dapat melekukkan batu. Tegasnya, amalan sunat yang istiqamah sangat memberi kesan pada hati. Kesannya dapat dilihat pada gerak-gerik, membuahkan akhlak yang mulia. Sebaliknya amalan sunat yang dibuat walaupun banyak tetapi tidak secara istiqamah, tidak memberi bekas pada jiwa.

7. Ada Pemimpin yang Memimpin

Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.

Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.

Orang yang memimpin (mursyidun) tidak sama dengan mua’llim. Juga tidak sama dengan ustaz dan guru. Sebab mu’alim itu hanya memberi ilmu. Mereka hanya memandang luar. Tetapi mursyid yang dapat memimpin. Allah memberi padanya ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir dan batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi juga hati (roh) juga dipimpinnya. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal quran dan hadis. Sebab itu sebagaimana hebat alim seseorang itu, dia mesti punya pemimpin.

Memang guru, pemimpin itu susah dicari. Apalagi di jaman sekarang yang sudah jauh dari Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang popular dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Imam Ghazali r.h. berkata:

“Untuk mencari seorang mursyid, laksana mencari belerang merah”

Begitulah susahnya untuk mencari mursyid. Sebab itu pimpinan sudah tidak wujud lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka berjuangpun hanya main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi. Jadi perlu ada guru yang mursyid, yang dapat memimpin ilmu dan amalan kita, yang memimpin lahir dan batin kita. Guru mursyid ini menjadi tempat kita merujuk walau dalam hal keci sekalipun.

Tetapi di sinilah banyak yang tidak faham termasuk alim ulama. Sebagiannya berkata “kalaulah kita sudah berguru ke satu tempat, jangan lagi berguru di tempat lain”. Ini satu fahaman yang salah. Sebenarnya guru mursyid yang tidak banyak; seorang saja. Tapi kalau guru sumber ilmu, lebih banyak lebih baik karena lebih banyak saluran untuk dapat ilmu. Imam Ghazali r.h. ada 1000 orang gurunya.

Guru pimpinan, tempat rujuk dalam semua hal hanya seorang saja. Dalam hal apapun mesti dirujuk kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk dapat berkat mesti bertanya kepadanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahannya wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arahdi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib. Di sinilah kebanyakan kesalahan pejuang sekarang. Mereka sudah memiliki jemaah, tetapi bila ada masalah dalam jemaah dia rujuk pada ‘ulama luar jemaah’ atau dukun.

Jadi setiap orang yang ingin membaiki dirinya mesti ada mursyid yang akan memimpinnya, sekalipun dia ulama, alim, hafaz Al Quran dan pakar hadis. Kenapa ? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Bukan semua muhaddisin akan diberi ilmu-ilmu hati. Oleh itu, walau ulama pakar sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah faham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan ? Saya boleh pimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar kepada orang lain ?” Sebab mereka merasa mereka banyak ilmu dan dapat pimpin diri sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.

Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai basyirah. Bukan sekedar akal saja terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tapi orang yang hatinya terbuka tidak banyak. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Imam Hambali umpamanya, dia tidak disebut ahli tasawuf sebab dia tidak mengarang kitab tasawuf, sebaliknya hanya mengarang kitab ilmu-ilmu lahir. Tetapi yang sebenarnya dia juga alim ilmu batin (karena semua Imam mahzab itu adalah mursyid dan pakar tasawuf). Dia tahu dan mengamalkannya. Menurut riwayat, Imam Hambali selalu merujuk kepada ulama-ulama, menziarahi bisyru al khafi, sering menziarahi ahli-ahli sufi di ujung negeri Baghdad.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid.

8. Berdoa Kepada Allah

Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.

Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.

Oleh karena yang muatsir hanyalah Allah, jadi tujuh hal yang diperkatakan diatas tidak muatsir, walaupun diperintah. Dia tidak memberi bekas. Sebab itulah mesti bersungguh-sungguh berdoa kepada Allah. Bila Allah beri hidayah dan taufiq semua masalah selesai. Tidak ada masalah yang sulit. Yang besar jadi kecil, yang kecil lebih lagilah jadi terlalu kecil.

Ilmu Islam seperti juga sebagaimana ilmu dunia juga. Tidak mesti kita belajar ilmu dan apabila diamalkan itu tepat sebagaimana belajar. Kebanyakannya tidak tepat walaupun sudah ada nasnya. Tepat yang lahir, batin pula yang tidak kena. Contohnya kita belajar ilmu shalat. Dari segi rukuk, sujud, tepat sebagaimana dalam kitabnya. Tapi yang batin, hati tidak sujud, hati pula yang tidak rukuk. Inilah yang dikatakan taufiq tidak ada sebaliknya hanya dapat hidayah saja.
Contoh yang lain, seorang yang belajar ilmu ekonomi yang selalu memikirkan soal untung dan rugi. Tetapi bila praktikal tidak selalu begitu. Sebab itu mandor lebih pakar dari enginer. Enginer tahu menyebut dari segi istilah saja sesuatu ‘barang’. Tetapi seorang mandor istilahnya tidak tahu menyebutnya tapi dialah yang pakar mengoperasikannya. Jadi teori dengan amal tidak selaras walaupun dari segi ilmunya sudah nampak tepat. Tetapi bila buat tidak tepat. Itulah yang menunjukkan selain Allah tidak memberi bekas. Oleh itu mesti selalu berdoa kepada Allah agar dikaruniakan hidayah dan taufiq. Bila Allah berikan hidayah dan taufiq, semua apa yang dibuatnya akan tepat.Begitulah teori ilmiahnya, 8 syarat yang ditempuh oleh seseorang itu agar ia menjadi orang soleh atau menjadi orang yang bertaqwa. Bila kita menjadi orang yang bertaqwa barulah kita akan dapat ganjaran dari Allah dunia dan Akhirat. Jadi sebelum kita menjadi orang yang bertaqwa selagi itulah Allah tidak akan bantu dan bela kita serta tiada jaminan daripada Allah SWT.

No comments:

Post a Comment